Time
Monday, September 26 at 8:00pm - October 10 at 6:00pm
Location
Philo Art Space
Jl Kemang Timur 90 C
Jakarta, Indonesia
Created By
Amalia Ahmad
More Info
Tubuh-Tubuh Marjin by Nurul Hayat (Acil), Multazam Kamil, Moch Basori, Priyaris Munandar (Aris), Iqrar Dinata
Lama sekali tubuh dipinggirkan dalam sejarah peradaban. Tubuh dianggap sumber masalah atau penghalang bagi cita-cita ideal manusia terutama bagi masyarakat yang bersandarkan moralitas agama dan filsafat idealisme. Agama-agama samawi jelasnya terutama dalam berbagai perbedaan pandangan satu dengan lainnya sepakat atas yang satu ini, tubuh adalah sumber dosa! Pandangan seperti ini sejajar dengan doktrin dualisme filsafat Plato yang jelas-jelas mendiskreditkan tubuh sebagai “penjara bagi jiwa”.
Tubuh menjadi target persepsi yang sudah dikonstruksi bahwa dia harus ditaklukkan! Bahkan tubuh menjadi bagian yang dianggap paling representatif untuk diangkat sebagai komoditi kekuasaan, khususnya dalam pemaksaan demi penundukan dan pendisiplinan. Tubuh harus dihajar jika perlu disiksa agar muncul ketakutan lalu tunduk dan bagaimana jika sang tubuh terus membangkang? Tak ada kata lain, “dihapuskan”!
Bagaimanapun sejarah peradaban menunjukkan bahwa tidak begitu mudahnya tubuh tertundukkan. Tubuh memiliki banyak aspek yang senantiasa berkelit dan bisa memampukannya luput dari target ideal yang seringkali demikian menakutkan. Jika jiwa yang menjadi lawan tubuh maka jiwa seringkali bertindak sebagai pendendam untuk melenyapkan tubuh secara serta-merta.
Dalam Pameran Lukisan di Philo Art Space, kelompok lukis yang menamakan dirinya Fighting Cocks (Acil, Aris, Basori, Zam Kamil , plus Iqrar Dinata) menampilkan tema lukisan mereka tentang tubuh (manusia), tubuh dengan berbagai tantangan dan persepsi namun mengarah pada problem yang sama tubuh-tubuh dalam “garis batas”, Tubuh-Tubuh Marjin (margin). Tubuh-tubuh yang biasanya bertebaran di dalam wilayah yang cenderung tertaklukkan. Tubuh-tubuh yang mencoba menggeliat untuk eksis, tubuh-tubuh yang mencoba terus survive!
Pada lukisan-lukisan Acil diperlihatkan bagaimana tubuh terperangkap dalam ruang-ruang yang terkesan demikian formalistik dan struktural. Nampaknya relasi ruang-ruang itu fleksibel bagi dirinya sendiri namun justru itulah yang menyebabkan manusia nyaris terabaikan di sana. Secara cukup transparan di sini bahwa pada kenyataan bukanlah jiwa yang terpenjara oleh tubuh melainkan sebaliknya. Idealitas ruang kehidupan sudah demikian kuat menutup kemungkinan tubuh-tubuh kongkrit mencari jalannya sendiri.
Senada dengan ini kita bisa simak pula napas lukisan-lukisan Aris.
Tubuh-tubuh di sana memperlihatkan ketakberdayaannya dalam struktur sosial yang nyaris tak memungkinkan tubuh individual sebagai subjek perubahan muncul dan merdeka. Tubuh sudah terkonstruksi demikian rupa ke dalam bagian-bagian komunitas yang malah terbuka atau kemungkinan hanya mampu bergerak sesuai dengan panggilan alam.
Pada lukisan-lukisan Iqrar Dinata sejarah tubuh diekspos terang-benerang. Sedari masa kecil seseorang sudah dibuat mau jadi apa, diobjektivikasi sesuai dengan idealitas system dan dimatangkan oleh pengawasan dan penghukuman. Biasanya apa yang dihasilkan dari konstruksi sosial ini tak lain ialah kekerasan atas tubuh. Tubuh sosial adalah sebuah pencapaian kekerasan yang dilakukan sejak kecil dan tubuh yang lebih tak berdaya adalah tubuh perempuan.
Zam Kamil mengambil sisi relasi antar individu yang beraromakan hasrat bagaimana tubuh menjadi penting. Ada sosok maestro Vincent van Gogh disentil sebagai ikon bagi “hasrat kegilaan” sang tubuh yang memang aneh di dalam sejarah peradaban. Senyatanya ikon itu bisa dibaca sebagai reaksi yang sangat waras bagi peradaban yang tak lagi mempedulikan bagian detil dari tubuh, peradaban tak lagi merasakan bagian yang sakit dari tubuh dan bagaimana kita menyaksikan sebuah kematian rasa tubuh kita sendiri hanya apabila kita terlalu pasif atas idealitas norma-norma sosial. Zam Kamil justru ingin merayakan hasrat yang nyaris punah itu.
Sementara Basori focus pada hubungan tubuh dengan waktu, berpacunya tubuh dengan gerak waktu yang memang merupakan tema kontemporer yang gamblang. Ada sesuatu yang menarik bahwa berpacunya tubuh dengan waktu ternyata menghasilkan hilangnya relasi kita dari tempat asal kita yakni “rumah alam”. Manusia kontemporer telah kehilangan aura romantisisme? Apa sesungguhnya yang ia kejar? Mungkin ia sendiri tak tahu jawabnya kecuali harus berpacu dengan dan bersama waktu!
Selamat berpameran
Tommy F Awuy
Kurator
Tidak ada komentar:
Posting Komentar