Saya  sebagai pengarang sastra Jawa,  awalnya sama seperti para  pengarang pada  umumnya, yakni : menekuni  sastra realis yang  menceritakan dunia kenyataan seperti yang tampak.  Dalam perjalanan  mengarang setelah 15 tahun menulis realis, imajinasi saya yang  melesat-lesat terasa gerah di sastra realis yang sempit, karena hidup  ini tidak hanya berisi seperti yang tampak .Hidup penuh kelebat misteri  di dalam batin yang sulit dijelaskan adanya. Kenyataan batin yang tak  tampak ini  tidak akan mungkin  tergarap  di sastra realis. Jadilah  kemudian saya juga menjelajah sastra simbolis, melukiskan  melalui  lambang-lambang, yang di balik lambang, menyiratkan  makna.
          Juga kujelajahi sastra surealis  yang rumit lebih ke dalam, penemuan  artistik yang terhubung ke alam pikiran bawah sadar. Di sastra simbolis,  surealis , imajinasi  saya  lebih  leluasa bergerak , menembus ke mana  pun, tanpa batas. Mungkin suatu saat, saya tertarik menulis cerita  tentang mimpi  ketemu arwah Nabi, entah  Nabi siapa, berbincang serius  tentang dunia. Sastra realis jelas tidak akan sanggup menulis cerita  seperti itu, akan dibantah orang-orang realis, bahwa itu sangat tidak  mungkin, karena arwah tidak tampak, apalagi arwah Nabi, bohong belaka.  Pengangum sastra surealis yang bisa menerima, yang tidak mempersoalkan  tentang pertemuan dengan arwah, atau yang aneh-aneh lainnya, kecuali   makna  apa, bobot nilai  apa yang diangkat pengarang. Nilai moral,  filsafat atau relegi yang  menjadi kandungan isi cerita. Menarikkah  pengarang menceritakannya dengan kreatif  dari kepekaaan  imajinasinya?
          Pandai bercerita dan imajinasi, dua unsur penting dalam cabang  seni. Kekuatan  imaji adalah juga  kekuatan menggali ide-ide orisinal.  Ide-ide murni yang bukan dari meniru karena tiruan bukanlah seni.   Sastra sebagai seni, menuntut orosinalitas dan sastra yang baik, sanggup  menyelami kedalaman batin manusia yang rumit dan pelik. Sastra, realis,  simbolis maupun surealis, menggarap kehidupan yang sama,  yaitu dunia  cerita manusia yang  tak pernah selesai menghadapi beragam persoalan  sepanjang hidupnya. Bahkan juga setelah mati, masih menghadapi persoalan  di dunia lain. Imanjinasi pengarang kreatif, melesat pula  ke sana.*
(Bojonegoro, 21 Oktober 2010).-
Salam
Djajus Pete
Tidak ada komentar:
Posting Komentar