Time | Wednesday, October 27 · 10:00am - 10:00pm |
---|---|
Location | Teater Luwes - Institut Kesenian Jakarta Jl. Cikini Raya No.73 Jakarta, Indonesia |
Created By | |
More Info | DEWAN KESENIAN JAKARTA Program Bulan Oktober Dengan dukungan Institut Kesenian Jakarta, DKJ menampilkan pertunjukan tari dari: 1. Tari Topeng Slawi - Ibu Suwitri/ Maestro Tari Topeng, Tegal 2. Tari Topeng Huda-Huda dari Medan - Riduan Purba/Tari Huda-Huda, Sumatra Utara 3. Tari Topeng Indramayu - Bapak Carpan/ Maestro Tari Topeng, Indramayu Pertunjukan Rabu, 27 Oktober 2010 Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta 19.00 – 21.00 WIB Workshop Rabu, 27 Oktober 2010 Ruang C. Fakultas Tari Institut Kesenian Jakarta 10.00 – 13.00 WIB Seri “Maestro! Maestro!” merupakan sebuah program yang dikonsep oleh Komite Tari DKJ. Melalui program ini DKJ hendak mengedepankan kembali pembacaan atas tari tradisi Indonesia, harta karun budaya yang luar biasa mumpuni. Acara yang akan menampilkan para empu tari tradisi nusantara ini akan berlangsung pada bulan Oktober, November dan Desember 2010. Mereka diundang untuk menghadirkan ekspresi olahrasa mereka atas kehidupan. Dalam rangka itu pula, DKJ juga menawarkan kesempatan kepada kita semua untuk mempelajari secara lebih dekat tarian dan falsafah hidup para empu ini melalui program workshop yang berlangsung selama setengah hari di Insitut Kesenian Jakarta. PROFIL Tari Topeng Slawi Tidak jelas tentang kapan Tari Topeng Tegal diciptakan dan siapa penciptanya. Hanya diketahui Ibu Suwitri mewarisi 6 jenis Tari Topeng khas Tegal dari ibunya bernama Ibu Warmi. Ibu Warmi mewarisinya dari ibunya pula yang bernama Ibu Darem, yang menguasai 12 jenis Tari Topeng khas Tegal. Urutan tarinya: 1. Endel 2. Kresna 3. Panji 4. Panggawa/Patih 5. Lanyapan Alus 6. Klana Tentang Ibu Warmi Pada tahun 1950-an, Ibu Warmi menjajakan (mengamen) Tari Topeng khas Tegal dengan cara berkeliling dari desa ke desa dengan rombongan. Pada waktu itu peralatan musik/gamelannya dipikul oleh rombongan tersebut, yang oleh masyarakat disebut Ronggeng Warmi. Setelah Bu Warmi tak mampu menari lagi, maka ia digantikan oleh anaknya yaitu Ibu Suwitri sekitar tahun 1970-an. Tetapi ia tidak menari keliling lagi, hanya memenuhi panggilan-panggilan saja. Para pemain : Penari Topeng Suwitri Sinden Yanti Pemusik: Parno, Waryo, Kasmadi, Dirmo, Kasro, Karyo, Witno, Tarmono, Dio, Warjo Tari Topeng Huda-Huda dari Medan Konon di zaman dahulu kala, seorang istri raja (na si puang) ditimpa kemalangan. Anak yang dikasihinya meninggal dunia. Saking sedihnya, sang putri tidak rela anaknya dimakamkan dan terus memangku mayat anaknya hingga berhari-hari. Proses pembusukanpun terjadi dan bau mayat yang menyengatpun sudah melingkupi istana dan tercium sampai ke kediaman penduduk. Penghuni istana serta pendudukpun terusik dengan keadaan yang tidak nyaman itu dan ingin berbuat sesuatu membujuk sang permaisuri. Berbagai cara sudah dilakukan, namun permaisuri tidak mengindahkannya. Hingga di suatu talun sekelompok laki-laki yang sedang ”martambul” turut prihatin. Talun adalah sebuah gubuk di tengah hutan yang berfungsi sebagai tempat menampung dan memasak air aren (tuak) untuk membuat gula merah atau gula aren. Saat itu, di talun sedang berlangsung acara memasak binatang hasil buruan mereka. Salah satu binatang buruan itu adalah burung enggang. Masalah ketidaksediaan permaisuri melepas mayat anaknya untuk dikebumikan menjadi topik pembicaraan mereka. Intinya, bagaimana caranya agar sang putri mau melepas mayat anaknya yang sudah membusuk itu untuk dimakamkan. Alhasil, salah seorang dari mereka memiliki ide, dengan membuat pertunjukan yang lucu, kocak di depan sang putri, hingga nantinya mayat anaknya terlepas dari tangannya. Lantas mereka mencurinya dan memakamkannya. Usai bersantap, salah seorang diantara mereka memperhatikan sisa-sisa peralatan dan makanan tadi. Sisa daging enggang (paruh dan tulang lehernya) dicoba dikenakan di kepala salah seorang dari mereka. Terlihat lucu!. Maka ide lainpun muncul. Pelepah pinang yang biasa mereka gunakan tempat cuci tangan diukir menjadi ”patung” manusia berwujud laki-laki dan dikenakan di muka seorang lagi. Terlihat lucu juga!. Lantas dibuat satu lagi ”patung” manusia berwujud perempuan. Ide membuat patung ini selesai. Masalahnya, siapa yang akan melakonkannya di depan sang putri. Karena tidak ada seorangpun berani melakukannya. Alasannya, apabila ada orang yang tau maka mereka pasti dihukum. Mereka mempersiapkan tiga orang memainkannya di depan permaisuri. Kini, mereka memikirkan cara agar aktor-aktornya tidak dikenali siapapun. Lantas, muncullah ide menutup seluruh tubuh mereka dengan kain. Pelakon burung Enggang tadi seluruh mukanya ditutup dengan kain, dan dikepalanya dikenakan paruh dan kepala enggang. Muka dua pelakon patung manusia ditutup dengan topeng dan tubuhnya ditutup dengan kain. Setelah semuanya dipersiapkan dan mereka yakin pertunjukkan itu akan menarik perhatian sang permaisuri, ketiganya diberangkatkan memasuki istana raja. Singkatnya, mereka masuk ke ruang sang permaisuri. Saat permaisuri melihat ketiga patung aneh itu, awalnya terkejut. Namun pertunjukan terus dilangsungkan, hingga benar-benar membuat sang putri merasa terhibur. Saat itulah mayat bayi di pangkuannya lepas. Tanpa disadari sang putri, para penari topeng itu berhasil merebut mayat anak tadi dan melarikannya ke hutan untuk dikubur. Sejak itu, persoalan mayat bayi membusuk dapat diselesaikan tanpa seorangpun mengetahui orang yang ”mencuri” dan menguburkan mayat itu. Demikian kisahnya. Upacara ritual ini masih dilaksanakan penduduk hingga di abad globalisasi dan informasi ini. Termasuk di Hampung, Negeri Dolok. Menurut keterangan seorang tokoh penduduk desa ini, beberapa desa di wilayah Silau Kahean dan Raya Kahean masih melaksanakan upacara ritual ini. Selain itu pada acara ritual pemakaman, Toping-toping dan Huda-huda acapkali digelar pada acara-acara budaya Simalungun seperti pada Pesta Rondang Bintang atau pagelaran budaya bersama di Sumatera Utara. Para pemain : Pemain Huda-huda Riduan Purba Penari Toping Dalahi Badu Purba Toping Daboru Fredi Purba Pemain musik Kenedy Purba, Johannes Sinaga, Dermawan Purba, Anton Sitepu Tari Topeng Indramayu Judul: Topeng Kelana, Panji Topeng Kelana mengekspresikan tarian yang gagah dan keras. Tarian ini menggambarkan sifat dan karakter serakah dan lambang angkara murka. Warna topeng merah tua, raut wajah beringas, mata melotot,mulut moncong menganga, seperti gambaran manusia bengis. Topeng Tumenggung berwatak gagah dan berwibawa, gambaran seorang patih. Warna topeng merah muda, coklat muda,bekumis yang menyatu dengan janggut. Topeng Tumenggung merupakan bagian yang sangat kental dengan latar belakang cerita Panji. Tentang Carpan Carpan, atau yang kerap dipanggil Mama Carpan, lahir di Desa Cibereng, Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu pada 1940. Mama Carpan mulai menari sejak usia 11 tahun. Pada tahun 1957 ia menikah dan dikarunia dua anak putri. Berkat kepiawaian dan ketekunannya dalam bidang ini, Mama Carpan yang mengawali karirnya dengan berpentas dari desa ke desa, sempat pula berpentas ke mancanegara. Ia juga meraih beberapa penghagaan atas pengabdiannya itu. Terakhir kali ia mendapat penghargaan sebagai Maestro Tari Topeng Laki-laki dari Gubernur Jawa Barat. Para pemain : Roup Topeng Mama Carpan sekaligus penari topeng. Pemusik / Pengrawit: Kasmadi, Catu, Caya, Sawen, Rasminah, Casmita, Durman, Rastinih |
KORAN JOGJA menyehatkan jiwa raga, sahabat siapa saja. Hamemayu Hayuning Bawana, mempercantik indahnya dunia, memelihara kelestarian bumi. Terdepan dalam mengajak masyarakat Indonesia untuk POSITIVE THINKING. Menolak segala Bullying dalam segala aspek.SAMBUT DENGAN GEMBIRA JAMAN ELING DAN WASPADA. JOGJA SEMANGAT. Website = http://www.koranjogja.info dan http://www.koran-jogja.com. E-mail: koranjogja@gmail.com.
Selasa, 26 Oktober 2010
=Pertunjukan Tari "MAESTRO! MAESTRO!"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar