KORAN JOGJA menyehatkan jiwa raga, sahabat siapa saja. Hamemayu Hayuning Bawana, mempercantik indahnya dunia, memelihara kelestarian bumi. Terdepan dalam mengajak masyarakat Indonesia untuk POSITIVE THINKING. Menolak segala Bullying dalam segala aspek.SAMBUT DENGAN GEMBIRA JAMAN ELING DAN WASPADA. JOGJA SEMANGAT. Website = http://www.koranjogja.info dan http://www.koran-jogja.com. E-mail: koranjogja@gmail.com.
Rabu, 21 Juli 2010
= Komunitas Seni Pasuruan
Komunitas Seni Pasuruan.
33 PASUKAN YG AKAN BERANGKAT 'BERTEMPUR' DI PERPUSTAKAAN KOTA MALANG, tgl 10 - 16 Juli 2010....MOHON DUKUNGAN DAN DOA RESTUNYA. .....( foto di atas diambil ketika pameran di Pasuruan)
Komunitas Seni Pasuruan pada tahun 2009, menggelar even pameran lukisan yang bertajuk “GERAK SERENTAK”, tapi hanya dilaksanakan di Pasuruan saja. Tahun ini mencoba mengadakan even pameran Lukisan ”GANDHENG RENTENG”, yang pertama sudah dilaksanakan di Pasuruan, yaitu tanggal 03-04-2010 s/d 09-04-2010 di Gedung Serba Guna Yon Zipur 10 Jl. Balai Kota Pasuruan, Jawa Timur, kemudian Insya Allah akan dilanjutkan pada tanggal 10-07-2010 s/d 16-07-2010 di ANJUNGAN KEN AROK PERPUSTAKAAN UMUM DAN ARSIP KOTA MALANG. Even di Malang ini, karena keterbatasan kapasitas gedung, hanya diikuti oleh 33 orang perupa. Dan karya yang dipamerkan berbeda dengan yang di Pasuruan.
_________________________________________________________
PAMERAN LUKISAN "GANDHENG RENTENG" Komunitas Seni Pasuruan
Waktu: 10-07-2010 s/d 16-07-2010
di ANJUNGAN KEN AROK PERPUSTAKAAN UMUM DAN ARSIP KOTA MALANG
MEMBANGKITKAN KEPEKAAN SOSIAL MELALUI SENI
Jose Ortega Y Gasset [1883-1955] filsuf asal Spanyol mengatakan, “Dunia adalah dunia dalam keakrabannya dengan sang aku. Dunia adalah dunia yang memperoleh makna dalam kesejarahan manusia”. Dari pendapat tersebut, ada beberapa makna yang bisa diambil. Pertama, dunia bagi seseorang adalah ‘seluas’ persepsi yang bersangkutan terhadap dunianya. Sehingga, ‘luasnya’ dunia ini berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Bagi seorang ahli elektro, dunia elektronik adalah dunianya. Kedua, ‘warna persepsi’ seseorang terhadap dunianya itu sangat dipengaruhi ‘apa’ yang telah ‘diisikan’ ke dalam persepsinya itu. Ketiga, artinya, makna dunia bagi seseorang bergantung pada ‘apa’ yang telah ‘diisikan’ ke dalam persepsinya tersebut.
Pertanyaanya adalah apa yang telah ‘diisikan’ ke dalam persepsi manusia jaman sekarang?
Barangkali sulit dipungkiri bahwa melalui ‘ideologi globalisasi’, negara-negara maju telah berhasil mencekokkan paham hedonisme kepada sebagian besar umat manusia, termasuk manusia-manusia Indonesia. Paham hedonisme ini terutama sangat digandrungi kaum muda.
Hedonisme adalah merupakan pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Dengan begitu, mereka yang ‘terjerembab’ dalam paham ini akan menjadikan pandangan hidupnya semata-mata untuk menghindari penderitaan dan mencari kebahagian yang dicapai melalui pemuasan keinginan materi.
Dengan hedonisme, negara-negara barat menginternalisasikan sebuah paham bahwa segala macam penderitaan adalah bertentangan dengan keinginan setiap manusia. Oleh karena itu, harus dihindari. Sedangkan, kenikmatan materi merupakan kebutuhan hakiki setiap manusia. Sehingga, setiap manusia harus terus-menerus mencari sumber-sumber kenikmatan materi seraya menjauhi segala macam penderitaan.
Dari paham hedonisme ini, muncul beberapa dampak yang justru dapat menghancurkan dimensi kemanusiaan. Pertama, kehendak menolak setiap penderitaan memunculkan keengganan bekerja keras. Kerja keras diidentikkan dengan penderitaan. Kedua, keyakinan bahwa sumber kebahagiaan satu-satunya adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materi telah mendorong manusia menjadi mahluk rakus, yang aktivitas hidupnya digunakan untuk mengumpulkan benda-benda materi sebanyak-banyaknya. Ketiga, keinginan untuk menghindari penderitaan, termasuk bekerja keras, dan keinginan untuk memperoleh benda-benda materi sebanyak-banyaknya, mendorong manusia cenderung mengambil jalan pintas dalam memperoleh benda-benda materi. Selain itu, kecenderungan tersebut juga menjadikan manusia-manusia yang telah teracuni faham tersebut akan menjadi seorang egois. Tidak memiliki kepedulian terhadap sesama.
Dalam pandangan hedonisme, kepedulian terhadap sesama yang wujudnya adalah berbagi atas yang dimiliki untuk orang lain justru bertolak-belakang dengan keinginan untuk memperoleh benda-benda materi sebesar-besarnya. Maka bukanlah pemandangan aneh jika kita melihat ada pesta tahun baru meriah yang menghabiskan dana puluhan milyard pada saat ada sebagian saudara sebangsa tengah menderita luar biasa akibat bencana alam. Bahkan, kita juga telah terbiasa melihat sekelompok manusia tega menghabisi manusia lain demi kekuasaan ( untuk menguasai sumber-sumber ekonomi ), meski tak jarang dengan menggunakan dalil-dalil keagamaan.
Maka, diperlukan sebuah terobosan untuk mengeluarkan manusia dari “kesumpegan” ini. Salah satu alternatifnya adalah dengan membangkitkan gairah berkesenian. Dalam era seni kontemporer, yang berkembang dewasa ini, kreator seni dibiasakan untuk selalu peka dalam merespons setiap gejala sosial yang terjadi saat ini, misalnya merespons tentang kemiskinan, degradasi moral di masyarakat, perilaku buruk dari suatu pemerintahan, atau yang lain. Dari hasil respons tersebut kemudian diangkat dalam tema karya seni untuk disajikan dalam kepada masyarakat luas.
Karya seni dalam era kontemporer ini, juga mengajak para apresiator untuk ikut terlibat, diajak merenungkan dan memahami tentang kondisi-kondisi sosial yang ada di lingkungan sekitar atau yang sedang aktual, melalui tema yang diusung oleh sang kreator . Apresiator tidak lagi sekedar disuguhi pada masalah media seni, artistik visual semata dan konsep-konsep seni yang menggantung di awang-awang, tapi diajak untuk memahami dan menghayati konteks, bahkan interteks dari suatu karya seni. Pendek kata, seni di era kontemporer adalah sebagai reaksi atas hegemoni penyeragaman, dengan budaya barat sebagai pusatnya, yang menafikan dan merendahkan budaya-budaya lokal, terutama yang berkembang di bangsa-bangsa Timur.
Di sisi lain, persoalan krisis moral belakangan ini makin mengemuka. Berbagai kalangan – pendidik, pemuka agama, tokoh masyarakat, ilmuwan hingga budayawan – mencoba menyajikan format penyelesaian. Namun, alih-alih ditemukan jalan keluarnya, justru krisis tersebut kian hari kian menjadi-jadi. Mengapa ?
Krisis moral ini tidak saja melanda manusia dewasa, tetapi telah merambah ke dunia remaja. Sebagai misal, beberapa kali kita jumpai perbuatan-perbuatan asusila, penyalahgunaan narkoba, miras, atau kekerasan di kalangan pelajar dan generasi muda. Sebagai warga “Kota Santri” tentu masyarakat Pasuruan dibuat “nelangsa”. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi ?
Tak ayal, berbagai pendapat pun muncul ke permukaan. Ada yang memaki-maki, menyalahkan orangtua, menyalahkan pendidikan, ajakan untuk kembali mendalami ajaran agama. Apa hasilnya ? Persoalan moralitas terus berlanjut. Para tokoh hanya mengemukakan pendapat-pendapat di atas, setelah itu kembali pada rutinitas harian mereka; ke kantor, berdakwah, berdagang …dan dilanjutkan ngrumpi dengan teman sejawatnya. Nyaris tak ada upaya-upaya yang lebih konkrit untuk mengawal penguatan nilai-nilai moralitas di tengah warga “Kota Santri” ini.
Kami, KOMUNITAS SENI PASURUAN, merasakan keprihatinan yang sangat mendalam atas fenomena di atas. Kami mencoba memberi “alternatif lain” dalam memberi jawab atas permasalahan moralitas di atas.
Pada hemat kami, pangkal kegagalan dalam mengatasi masalah moralitas itu karena kekurang-jelian dalam memaknai persoalan moralitas. Selama ini moralitas sekadar dipahami sebagai persoalan baik-buruk semata. Akibatnya, penyelesaian masalah tersebut hanyalah berupa pemberian “pengetahuan tentang hukum-hukum baik-buruk” saja.
Kami melihat, masalah moralitas bukanlah sekadar persoalan baik-buruk. Lebih dari itu, masalah moralitas adalah perkara penafikan “dunia dalam” yang berisi superego dan spiritualisme. Akibat “kecintaan yang berlebihan” terhadap dunia materi, yang kerapkali dibarengi dengan pengidentifikasian terhadapnya, manusia menjadi teralienasi terhadap “dunia dalam” nya sendiri. Padahal, di dalam dunia ini bersumber nilai-nilai moralitas yang dapat meningkatkan martabat kemanusiaan seseorang. Penafikan pada sumber-sumber ini menyebabkan degradasi nilai-nilai kemanusian.
Berkesenian merupakan sarana untuk menyelami “dunia dalam” tersebut. Lewat berkesenian, pencipta seni “diwajibkan” untuk menghayati dunia batinnya, penghayatannya, spiritualitasnya, religiousitasnya serta tanggung-jawabnya sebagai manusia. Maka, dengan berkesenian, secara langsung atau tidak langsung, akan terjadi proses pendidikan moral pada pelakunya.
Namun sayang, berkesenian dewasa ini mengalami distorsi makna. Berkesenian sering hanya dipahami sebagai persoalan ketrampilan teknis. Banyak karya baru lahir tanpa memantulkan kedalaman penghayatan penciptanya atau sikap empati terhadap kondisi sosial lingkungannya. Karya seni dimaknai sekadar mempertotonkan kepiawaian penguasaan ketrampilan teknis penciptanya semata. Dalam berkesenian seperti ini, kekuatan berkesenian sebagai proses pendidikan moralitas tidak pernah terjadi.
Komunitas ini lahir untuk menegaskan kembali makna berkesenian. Tujuannya jelas, yakni berkeinginan menebarkan “virus-virus” berkesenian sebagai pilar penyangga martabat kemanusiaan insan-insan yang terlibat dalam aktivitas tersebut. Namun harus disadari bahwa niat itu akan menjadi sebuah utopia jika tidak diikuti oleh agenda-agenda yang jelas dan berkelanjutan.
Even tahun ini merupakan upaya kami untuk mencoba menjadikan kesenian tidak sebagai suatu makhluk misterius, yang bertengger di menara gading, tapi suatu aktifitas yang cukup bersahaja, familiar, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Harapan kami, semoga aktifitas yang kami gelar ini mendapat respons yang positif, sehingga keberadaan organisasi ini bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya masyarakat yang ada di sekitar.
KETUA KOMUNITAS SENI PASURUAN
Wahyu Nugroho
Contact person : +6285646611158
In this photo: Galeri Apik Artworks Patron (photos), Sumbo Tinarbuko (photos), Muhidin M Dahlan (photos), Suwarno Wisetrotomo (photos), Galeri Srisasanti, ElizaBeth OraSis (photos), Arti Majalah (photos), Adi Putra S (photos), Djuli Djatiprambudi (photos), Krisna Murti (photos), Abdul Malik (photos), Rain Rosidi (photos), Simbah Kakung (photos), Akhmad Santoso (photos), Bentara Budaya (photos), Hang Ws (photos), Buletinseniman Jogja (photos | remove tag), Imam Muhadjir (photos), Wahyudin As (photos), Ridho Mochammad Salafi Handoyo (photos), Galeri Canna (photos), Asmujo Jono Irianto (photos), Dewan Kesenian Jawa Timur (photos), Ilham Khoiri (photos), Fauzi Asm (photos), Bambang Toko, Kuss Indarto (photos), Henri Nurcahyo (photos), Tubagus Andre (photos), Doddi Ahmad Fauji Wartawan (photos), Soto Djiancuk, Eddy Susilo (photos), Sujud Dartanto (photos), Agus Koecink (photos), Franciscus Xaverius Widaryanto (photos), Purnomo Limanto (photos), Situseni Untuk Kesenian (photos), Wicaksono Adi (photos), Handy Nawawi, Tubagus P Svarajati (photos), Tujuh Bintang (photos), Indonesia Seni (photos), Franciscus Xaverius Mulyadi (photos), Phithalo Aart Galeri (photos), Berita Seni (photos), Arie Kadarisman (photos), Indonesia ArtNews (photos), Johan Budhie Sava
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Terima kasih, telah ikut terlibat aktif dalam perjuangan kami.
BalasHapussalam,
atas nama para penggiat seni Pasuruan
Wahyu Nugroho
Wow your writing is very inspiring, certainly keeps me motivated is getting better again in writing. Thank
BalasHapusyou very much
Please visit to my website. The following:
redakan nyeri sendi dengan 6 makanan ini
Kebiasaan yang mengakibatkan sakit pinggang kidney capsule obat sehat ginjal pria kuman ditempat tidur bahayakan kesehatan paru-parukenali gejala kanker serviks stadium awal penyebab kanker serviks dan cara untuk mengetahuinya