Type: |
Start Time: | Wednesday, March 17, 2010 at 7:30pm |
End Time: | Saturday, March 27, 2010 at 8:00pm |
Location: | Tujuh Bintang Art Space |
Street: | Jl Sukonandi 7 |
City/Town: | Yogyakarta, Indonesia |
17 - 27 Maret 2010
Seniman
Agung Tato | Amrianis | Bambang “BP” Prasetyo | Dadang Imawan | Hadi Soesanto | Ekwan | I Nyoman Agus Wijaya | Iwan Sri Hartoko | Martono | M Sinnie | Mujiharjo | Nur khamim | Nico Siswanto | Rocka Radipa | Tato Kastareja | Totok Buchori | Yudi Sulistyo | Yoyok Sahaja | Wilman Syahnur | Yuli Kodo | Danny Ardiyanto | Klowor | Bonny setiawan
Kurator : Kuss Indarto
Pembukaan Pameran
Hari, Tanggal ; Rabu, 17 Maret 2010
Waktu : Pukul 19:30 WIB
Dibuka Oleh : dr. Tjahyo Sumirat
Musik : Jasmine Akustik
Praktik berkesenian bagi banyak kalangan perupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, telah masuk dalam babakan dimana teknologi memiliki peran yang teramat penting.
Pertama, teknologi menjadi perangkat utama dalam penciptaan karya, sehingga dari sanalah muasal karya yang dihasilkan itu berasal. Pada seniman jenis ini, kedudukan teknologi dalam kaitan dengan proses kreatifnya menjadi ideologis karena mendasarkan (nyaris) seluruh berkaryanya dengan bantuan perangkat teknologi.
Kedua, teknologi sebagai perangkat pembantu dalam proses kreatif. Di sini para perupa mencoba mengembangkan kecenderungan kreatif yang selama ini telah dilakoninya, dan memasukkan peran perangkat teknologi sebagai salah satu bagian dalam proses berkreasi. Teknologi sebagai alat bantu untuk mendukung dalam menajamkan tema yang telah jadi pilihannya. Namun teknologi bukan segala-segalanya bagi perupa semacam ini. Kemampuan seniman untuk beradaptasi atau menyesuaikan atau menyelaraskan (to adapt) dengan kebaruan-kebaruan teknologi yang ada di lingkungannya.
Di sisi lain, saat ini publik sulit sekali membuat identifikasi personal atau komunal untuk melihat sebuah karya seni rupa. Misalnya, karya seniman yang berasal dari Yogyakarta, bisa sangat jauh dari “identitas keyogyaan/kejawaannya”. Begitu juga dengan karya perupa dari Ranah Minang bisa tak beda jauh “identitas visualnya” dari karya seniman Eropa.
Gejala ini mengemuka dimana-mana, dan menjadi bagian penting dari kerja kreatif seniman yang imajinasinya tidak seutuhnya didukung dan bersumber dari ide-ide lokal. Lokalitas terkadang seperti diingkari secara visual, meski secara konseptual hal ini masih belum beranjak jauh. Gejala ini saya kira dapat ditengarai sebagai sebuah cara seniman dalam bersiasat untuk memperbarui dunia gagasan dan implementasinya di medan kreatifnya, di atas kanvasnya. Saya kira gejala mengadopsi atau memungut (to adopt) ini banyak muncul pada lukisan-lukisan di seluruh Indonesia.
Aspek yang menarik dalam pameran ini adalah proses mengadaptasi (gejala kemajuan teknologi) dan mengadopsi (gejala visual yang melampaui problem lokalitas). Ikon-ikon visual yang berangkat dari problem kebudayaan lokal bisa lebih jauh digali dan dikembangkan, untuk kemudian bisa dikerangkai sebagai “lintas lokal”, “lintas geografis”, “lintas etnik”, dan seterusnya, Istilah “lintas lokal” dan sejenisnya ini untuk menunjukkan bahwa problem kelokalan bisa menjadi titik pijak untuk lalu diperluas cakupannya sehingga melampaui problem lokalitas yang dirasa sempit.
more info :
www.tujuhbintang.com
http://blog.tujuhbintang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar