"La Condition Humaine' Mung Sakieu Buktosna"
Start Time:
Saturday, May 15, 2010 at 5:30pm
End Time:Monday, May 31, 2010 at 7:00pm
Location:Phthalo Gallery
Street:Kemang Selatan 8 No. C4-3
City/Town:Jakarta, Indonesia
“La Condition Humaine’
Mung Sakieu Buktosna”
A Group Exhibition by :
Acep Zamzam Noor, Budi Gunawan, Cecilia Laurent, Iwan Kuswana
Jono Sugiartono, Nita Nursita, Tommy Faisal Alim, Yana WS, Yusa Widiana
On Saturday, May 15th 2010 at 17.00 (5pm)
Curated by
Wicaksono Adi
Officiated by
Mrs. Chantal Penin
The exhibition current until May 31th, 2010
Tak Ada Bom Hari Ini
Atawa La Condition humaine:
Mung Sakieu Buktosna
Lazimnya orang mengenal “bobot kehadiran” karya seni rupa pada dimensi yang paling mendasar dan tercakup oleh bentuk yang termanifestasikan secara dwimatra atau trimatra dengan media atau material yang sudah dianggap baku (kanvas atau kertas dengan cat minyak, cat air, akrilik, tinta, arang, charchoal, gouache dan sejenisnya, patung dengan batu, kayu, logam, atau resin dan lain-lain) beserta berbagai tingkat permainan pada media yang dipilih berdasarkan perluasan kemungkinan estetik seluas-luasnya dari konvensi-konvensi yang telah disepakati secara spesifik.
Artinya, ”bobot kehadiran” seni rupa bertumpu pada formalisasi media yang kemudian dibakukan melalui serangkaian kreasi individual yang unik sebagai hasil dari sentuhan genius sang seniman dengan prosedur yang baku pula. Itulah yang kemudian lazim disebut sebagai “seni murni”. Tapi sejak muncul Dadaisme di Eropa dan Amerika, ”bobot kehadiran” semacam itu mulai bergeser ke wilayah yang lebih cair, bahwa segala sesuatu adalah media, dan media adalah segala sesuatu: kloset, perkakas kerja, barang-barang bekas, hingga sampah sekali pun. Yang pokok bukan lingkup khusus keindahan konvensionalnya melainkan pada otoritas si pesulap yang mengenggam fifsafat sebagai senjata beserta upacara pemberkatan di altar-altara berupa galeri dan museum mapan dengan para kritikus, teoritikus, promotor dan jurnalis berpengaruh sebagai pendetanya.
Kemudian muncul gejala lanjutan: bahwa seni rupa adalah aksi. Ada performance art, happening art, seni kolaboratif, demo di jalanan, seni publik, seni lingkungan, gerakan seni politik dan omong kosong hingga tindakan-tindakan estetis yang berbau mistik dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan ada seniman yang menciptakan ”bobot kehadiran” karyanya melalui apa yang disebut sebagai “kerja”: bahwa seni rupa bukan sekadar wahana untuk mengekspresikan egosentrisme guna menciptakan monumen-monumen estetik melainkan terjemahan langsung dari kegiatan si seniman di tengah masyarakatnya.
Segalanya kini menjadi sejenis perayaan atas kemungkinan ”bobot kehadiran” yang kian luas dan lentur, plus dari kemudahan teknologi serta fleksibilitas spasio-temporal yang fantastik dengan munculnya media cyber dunia digital dan kemajuan teknologi audio-visual yang kian menakjubkan itu. Di situ tak ada batas antara karya seniman dan bukan seniman karena setiap orang dapat membuat karya seni secara bebas pula. Dan akibatnya memang di sana sini muncul karya seni rupa yang asal jadi. Yang penting ”heboh, kul dan seru aja”.
Situasi ”asal jadi” ini telah mewabah ke mana-mana: seorang seniman melumuri tubuhnya dengan lumpur lalu berguling-guling di jalan raya, menggeliat-geliat seperti cacing. Tentu, si seniman asal menggeliat saja karena memang tidak pernah belajar olah tubuh secara sungguh-sungguh sebagaimana penari. Juga asal berteriak (bengak-bengok) sekenanya lantaran tak pernah belajar olah vokal dengan benar sebagaimana aktor teater.
Itulah ekses perluasan ”bobot kehadiran” serba boleh yang akhirnya kehilangan daya gedornya pula. Di tengah gemuruh perluasan ”bobot kehadiran”, plus maraknya pengaruh internasional di pusat-pusat seni rupa Indonesia (Jogja, Bandung, Jakarta dan Bali), nyatanya masih banyak yang bersetia dengan disiplin seni konvensional. Dan mayoritas seniman Indonesia tetap bekerja dengan paradigma konvensional itu, termasuk para seniman Tasikmalaya yang menggelar pameran ini.
Menyaksikan karya-karya mereka (plus satu seniman Jakarta), beberapa hal dapat kita catat. Pertama, mereka ternyata belum tergoda ikut menghambur ke dalam pusaran hiruk pikuk perluasan ”bobot kehadiran” seni rupa kontemporer yang serba boleh itu. Tentu, itu tidak berarti bahwa mereka terisolasi dari segala gemuruh hiruk pikuk semacam itu karena mereka juga menyaksikan berbagai peristiwa penting seni kontemporer Indonesia saat ini. Bahkan dua di antaranya, yakni Acep Zamzam Noor (ITB) dan Iwan Koeswana (IKJ) dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari arus utama seni rupa kontemporer Indonesia di era 1980-an.
Saat itu mereka sudah tampil di beberapa pameran di beberapa galeri penting di Jakarta, Jogja, Bandung dan di manca negara. Acep Zamzam Noor dikenal dengan karya-karya semi-representasional yang liar dan sublim dalam mengelaborasi tema-tema keterasingan diri yang kelam-ngilu. Dua puluh tahun kemudian kita mengenal karya-karya seniman muda Jogja seperti S Teddy D, Bob Sick Yudhita, Yunizar, Jumaldi Alfi dan Ugo Untoro yang mirip dengan karya-karya generasi Acep Zamzam Noor di Bandung.
Jika karya-karya seniman Jogja itu memperoleh apresiasi pasar yang luar biasa, karya-karya Acep dan Iwan Koeswana seolah lenyap ditelan bumi. Karya-karya Acep dan Iwan Koeswana terlalu dini muncul ke panggung seni rupa Indonesia. Hingga kini Acep terus mengeksplorasi tema keterasingan diri berikut dimensi-dimensi paling rawan dari individualitas sebagai subjek yang harus berhadapan dengan modernitas yang nyaris melenyapkan dasar-dasar terbentuknya individualitas itu sendiri. Di situ biasanya muncul kondisi yang nyaris tak berbentuk tapi dapat diidentifikasi sebagai ambang batas: apakah individualitas itu masih dapat dibuat utuh atau tidak sama sekali.
Sementara pada karya-karya Iwan Koeswana kita menemukan dramatisasi yang lebih gamblang dari kerawanan titik pijak individu di antara segala yang berada di luarnya. Segala bentuk nyata yang dapat dilihat dari konteks-konteks biasa, tapi diliputi teror pula. Lalu kita menemukan elaborasi dengan tingkat kerumitan yang berbeda-beda pada karya-karya Budi Gunawan, Yana WS, Jiono Sugiartono, Cecilia, Yusa Widiana, Nita Nursita, dan Tommy Faisal Alim. Meski mereka menggunakan bentuk yang sederhana, tapi sang manusia cenderung tak ditampilkan dalam wujudnya yang tegas dan utuh. Situasi sang subjek tampak rapuh dan kabur sehingga terkadang manusia mirip gumpalan figur yang siap hablur oleh sesuatu yang tak dapat dikendalikan.
Barangkali itulah gambaran kondisi manusia yang harus berhadapan dengan modernitas yang semula hendak menemukan subjek otonom tapi pada akhirnya justru menghancurkan dasar-dasar evidensial terbentuknya subjek itu sendiri. Kita memang banyak menemukan keterbelajan subjek dalam seni rupa kontemporer Indonesia dua puluh tahun terakhir. Hiruk pikuk perluasan ”bobot kehadiran” seni rupa itu juga suatu upaya untuk menunjukkan keterbelahan subjek yang kian parah sehingga nyaris melahirkan situasi yang kian anarkis. Segalanya seolah tak mungkin dibuat utuh dan kian sulit dikendalikan.
Para seniman yang berpameran di sini adalah bagian dari saksi sekaligus pelaku dunia yang terpecah-belah itu. Mereka tak dapat lari dari segala representasi mengenai kemustahilan penemuan kembali keutuhan individu sebagai subjek otonom yang nyaris hancur itu. Mereka menampilkan situasi itu dalam bentuk-bentuk yang sederhana.
Tentu, kita tak menemukan bom di sini. Tapi sebagaimana yang dikatakan Albert Camus, penataan ulang dunia yang khaos itu, dengan bom atau tidak, adalah tugas seni yang tak akan pernah selesai. Seni telah dikutuk untuk melaksanakan tugas itu. Dan kutukan itu pada saat tertentu telah menjadi berkah: justru karena kemustahilan menemukan keutuhan subjek, maka seniman akan terus menata ulang dunianya. Dari proses tanpa henti itulah estetika akan lahir. Para seniman Tasikmalaya telah menunjukkan bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari proses pergulatan yang tak pernah usai itu. Dengan bahasa sederhana mereka dapat menunjukkan kerumitan pergulatan tersebut. Pergulatan yang rawan dan kadang berbahaya.
Dan kita di sini, di Indonesia yang besar ini, dikerumuni hal-hal sederhana yang tiba-tiba dapat menjadi berbahaya. Kita berpijak di tubir runcing yang lembut tapi sewaktu-waktu dapat meledak menjadi bom. Segalanya tampak wajar tapi tak nyaris dapat dipastikan risiko apa saja yang tersimpan di baliknya. Barangkali pada dasarnya memang begitulah kondisi manusia. Jika orang Prancis (termasuk novelis Andre Malraux) bilang: beginilah la condition humaine, maka para seniman Tasikmalaya menimpali: mung sakieu buktosna. Ya beginilah adanya, justru karena kita hidup dalam dunia yang kacau, maka seni menemukan alasannya untuk lahir terus menerus.
***
Wicaksono Adi, Kurator Seni Rupa, tinggal di Jakarta.
Mung Sakieu Buktosna”
A Group Exhibition by :
Acep Zamzam Noor, Budi Gunawan, Cecilia Laurent, Iwan Kuswana
Jono Sugiartono, Nita Nursita, Tommy Faisal Alim, Yana WS, Yusa Widiana
On Saturday, May 15th 2010 at 17.00 (5pm)
Curated by
Wicaksono Adi
Officiated by
Mrs. Chantal Penin
The exhibition current until May 31th, 2010
Tak Ada Bom Hari Ini
Atawa La Condition humaine:
Mung Sakieu Buktosna
Lazimnya orang mengenal “bobot kehadiran” karya seni rupa pada dimensi yang paling mendasar dan tercakup oleh bentuk yang termanifestasikan secara dwimatra atau trimatra dengan media atau material yang sudah dianggap baku (kanvas atau kertas dengan cat minyak, cat air, akrilik, tinta, arang, charchoal, gouache dan sejenisnya, patung dengan batu, kayu, logam, atau resin dan lain-lain) beserta berbagai tingkat permainan pada media yang dipilih berdasarkan perluasan kemungkinan estetik seluas-luasnya dari konvensi-konvensi yang telah disepakati secara spesifik.
Artinya, ”bobot kehadiran” seni rupa bertumpu pada formalisasi media yang kemudian dibakukan melalui serangkaian kreasi individual yang unik sebagai hasil dari sentuhan genius sang seniman dengan prosedur yang baku pula. Itulah yang kemudian lazim disebut sebagai “seni murni”. Tapi sejak muncul Dadaisme di Eropa dan Amerika, ”bobot kehadiran” semacam itu mulai bergeser ke wilayah yang lebih cair, bahwa segala sesuatu adalah media, dan media adalah segala sesuatu: kloset, perkakas kerja, barang-barang bekas, hingga sampah sekali pun. Yang pokok bukan lingkup khusus keindahan konvensionalnya melainkan pada otoritas si pesulap yang mengenggam fifsafat sebagai senjata beserta upacara pemberkatan di altar-altara berupa galeri dan museum mapan dengan para kritikus, teoritikus, promotor dan jurnalis berpengaruh sebagai pendetanya.
Kemudian muncul gejala lanjutan: bahwa seni rupa adalah aksi. Ada performance art, happening art, seni kolaboratif, demo di jalanan, seni publik, seni lingkungan, gerakan seni politik dan omong kosong hingga tindakan-tindakan estetis yang berbau mistik dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan ada seniman yang menciptakan ”bobot kehadiran” karyanya melalui apa yang disebut sebagai “kerja”: bahwa seni rupa bukan sekadar wahana untuk mengekspresikan egosentrisme guna menciptakan monumen-monumen estetik melainkan terjemahan langsung dari kegiatan si seniman di tengah masyarakatnya.
Segalanya kini menjadi sejenis perayaan atas kemungkinan ”bobot kehadiran” yang kian luas dan lentur, plus dari kemudahan teknologi serta fleksibilitas spasio-temporal yang fantastik dengan munculnya media cyber dunia digital dan kemajuan teknologi audio-visual yang kian menakjubkan itu. Di situ tak ada batas antara karya seniman dan bukan seniman karena setiap orang dapat membuat karya seni secara bebas pula. Dan akibatnya memang di sana sini muncul karya seni rupa yang asal jadi. Yang penting ”heboh, kul dan seru aja”.
Situasi ”asal jadi” ini telah mewabah ke mana-mana: seorang seniman melumuri tubuhnya dengan lumpur lalu berguling-guling di jalan raya, menggeliat-geliat seperti cacing. Tentu, si seniman asal menggeliat saja karena memang tidak pernah belajar olah tubuh secara sungguh-sungguh sebagaimana penari. Juga asal berteriak (bengak-bengok) sekenanya lantaran tak pernah belajar olah vokal dengan benar sebagaimana aktor teater.
Itulah ekses perluasan ”bobot kehadiran” serba boleh yang akhirnya kehilangan daya gedornya pula. Di tengah gemuruh perluasan ”bobot kehadiran”, plus maraknya pengaruh internasional di pusat-pusat seni rupa Indonesia (Jogja, Bandung, Jakarta dan Bali), nyatanya masih banyak yang bersetia dengan disiplin seni konvensional. Dan mayoritas seniman Indonesia tetap bekerja dengan paradigma konvensional itu, termasuk para seniman Tasikmalaya yang menggelar pameran ini.
Menyaksikan karya-karya mereka (plus satu seniman Jakarta), beberapa hal dapat kita catat. Pertama, mereka ternyata belum tergoda ikut menghambur ke dalam pusaran hiruk pikuk perluasan ”bobot kehadiran” seni rupa kontemporer yang serba boleh itu. Tentu, itu tidak berarti bahwa mereka terisolasi dari segala gemuruh hiruk pikuk semacam itu karena mereka juga menyaksikan berbagai peristiwa penting seni kontemporer Indonesia saat ini. Bahkan dua di antaranya, yakni Acep Zamzam Noor (ITB) dan Iwan Koeswana (IKJ) dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari arus utama seni rupa kontemporer Indonesia di era 1980-an.
Saat itu mereka sudah tampil di beberapa pameran di beberapa galeri penting di Jakarta, Jogja, Bandung dan di manca negara. Acep Zamzam Noor dikenal dengan karya-karya semi-representasional yang liar dan sublim dalam mengelaborasi tema-tema keterasingan diri yang kelam-ngilu. Dua puluh tahun kemudian kita mengenal karya-karya seniman muda Jogja seperti S Teddy D, Bob Sick Yudhita, Yunizar, Jumaldi Alfi dan Ugo Untoro yang mirip dengan karya-karya generasi Acep Zamzam Noor di Bandung.
Jika karya-karya seniman Jogja itu memperoleh apresiasi pasar yang luar biasa, karya-karya Acep dan Iwan Koeswana seolah lenyap ditelan bumi. Karya-karya Acep dan Iwan Koeswana terlalu dini muncul ke panggung seni rupa Indonesia. Hingga kini Acep terus mengeksplorasi tema keterasingan diri berikut dimensi-dimensi paling rawan dari individualitas sebagai subjek yang harus berhadapan dengan modernitas yang nyaris melenyapkan dasar-dasar terbentuknya individualitas itu sendiri. Di situ biasanya muncul kondisi yang nyaris tak berbentuk tapi dapat diidentifikasi sebagai ambang batas: apakah individualitas itu masih dapat dibuat utuh atau tidak sama sekali.
Sementara pada karya-karya Iwan Koeswana kita menemukan dramatisasi yang lebih gamblang dari kerawanan titik pijak individu di antara segala yang berada di luarnya. Segala bentuk nyata yang dapat dilihat dari konteks-konteks biasa, tapi diliputi teror pula. Lalu kita menemukan elaborasi dengan tingkat kerumitan yang berbeda-beda pada karya-karya Budi Gunawan, Yana WS, Jiono Sugiartono, Cecilia, Yusa Widiana, Nita Nursita, dan Tommy Faisal Alim. Meski mereka menggunakan bentuk yang sederhana, tapi sang manusia cenderung tak ditampilkan dalam wujudnya yang tegas dan utuh. Situasi sang subjek tampak rapuh dan kabur sehingga terkadang manusia mirip gumpalan figur yang siap hablur oleh sesuatu yang tak dapat dikendalikan.
Barangkali itulah gambaran kondisi manusia yang harus berhadapan dengan modernitas yang semula hendak menemukan subjek otonom tapi pada akhirnya justru menghancurkan dasar-dasar evidensial terbentuknya subjek itu sendiri. Kita memang banyak menemukan keterbelajan subjek dalam seni rupa kontemporer Indonesia dua puluh tahun terakhir. Hiruk pikuk perluasan ”bobot kehadiran” seni rupa itu juga suatu upaya untuk menunjukkan keterbelahan subjek yang kian parah sehingga nyaris melahirkan situasi yang kian anarkis. Segalanya seolah tak mungkin dibuat utuh dan kian sulit dikendalikan.
Para seniman yang berpameran di sini adalah bagian dari saksi sekaligus pelaku dunia yang terpecah-belah itu. Mereka tak dapat lari dari segala representasi mengenai kemustahilan penemuan kembali keutuhan individu sebagai subjek otonom yang nyaris hancur itu. Mereka menampilkan situasi itu dalam bentuk-bentuk yang sederhana.
Tentu, kita tak menemukan bom di sini. Tapi sebagaimana yang dikatakan Albert Camus, penataan ulang dunia yang khaos itu, dengan bom atau tidak, adalah tugas seni yang tak akan pernah selesai. Seni telah dikutuk untuk melaksanakan tugas itu. Dan kutukan itu pada saat tertentu telah menjadi berkah: justru karena kemustahilan menemukan keutuhan subjek, maka seniman akan terus menata ulang dunianya. Dari proses tanpa henti itulah estetika akan lahir. Para seniman Tasikmalaya telah menunjukkan bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari proses pergulatan yang tak pernah usai itu. Dengan bahasa sederhana mereka dapat menunjukkan kerumitan pergulatan tersebut. Pergulatan yang rawan dan kadang berbahaya.
Dan kita di sini, di Indonesia yang besar ini, dikerumuni hal-hal sederhana yang tiba-tiba dapat menjadi berbahaya. Kita berpijak di tubir runcing yang lembut tapi sewaktu-waktu dapat meledak menjadi bom. Segalanya tampak wajar tapi tak nyaris dapat dipastikan risiko apa saja yang tersimpan di baliknya. Barangkali pada dasarnya memang begitulah kondisi manusia. Jika orang Prancis (termasuk novelis Andre Malraux) bilang: beginilah la condition humaine, maka para seniman Tasikmalaya menimpali: mung sakieu buktosna. Ya beginilah adanya, justru karena kita hidup dalam dunia yang kacau, maka seni menemukan alasannya untuk lahir terus menerus.
***
Wicaksono Adi, Kurator Seni Rupa, tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar